Selasa, 04 Desember 2012

Patogenesis Toksoplasmosis

Akhir-akhir ini, banyak tenaga medis, veterinarian, ilmuwan peneliti, dan kalangan ekonomi mulai memperhatikan kehadiran Toxoplasma gondii yang merupakan patogen yang berperan penting dalam kehidupan kita. Toksoplasmosis pada hewan-hewan domestik mempunyai arti ekonomis yang sangat penting di negara-negara seperti Inggris dan Selandia Baru, dimana parasit tersebut mengakibatkan banyak kasus aborsi pada domba1. Suatu penelitian di Norwegia yang melibatkan 35.940 wanita hamil selama 1992 hingga 1994, memberikan gambaran sebagai berikut: 10,9% wanita terinfeksi sebelum kehamilan dan 0,17% terjangkit infeksi selama kehamilan. Ini berarti, 1 dari 10 ibu hamil berisiko mengidap infeksi Toxoplasma gondii2.
Toxoplasma gondii adalah suatu parasit/protozoa berbentuk kokus yang berkaitan dengan Plasmodium, Isospora, dan anggota lainnya dari phylum Apicomplexa. Penjamu (host) definitif yang berkaitan erat dengan parasit ini adalah dari keluarga kucing/felidae. Selain itu, banyak hewan mamalia dan burung yang merupakan penjamu menengah (intermediate host)3,4.
Manifestasi klinis toksoplasmosis sangat beragam, mulai dari asimtomatik, demam, limfadenopati, nyeri otot, sakit kepala, hingga cacat kongenital yang bersifat permanen seperti retardasi mental, hidrosefalus, hingga kematian, khususnya pada penderita AIDS4.
Struktur, Multiplikasi, dan Siklus Kehidupan
Toxoplasma gondii mempunyai beberapa bentuk kehidupan.
  1. Tachyzoite yang berbentuk sabit atau oval dengan satu sisi runcing dan yang lain bundar.
    1. Ekstraselular (anak panah) terlepas dari sel-sel penjamu. Bandingkan dengan ukuruan dari sel-sel darah merah dan limfosit. Impression smear, pewarnaan Giemsa. Panjang garis = 20 µm.
    2. Intraselular dalam kultur sel. Terlihat suatu kelompok berbentuk seperti bunga mawar (anak panah) dan berada di dalam vakuola (kepala anak panah). Pewarnaan imunohistokimia dengan sebuah tachyzoite-specific monoclonal antibody. Panjang garis = 20 µm.
    3. Transmisi mikroskop elektron dari suatu tachyzoite intraselular. Terlihat suatu vakuole parasitoforus (PV) seputar tachyzoite. Organel-organel terlihat di dalam gambar ini adalah conoid (c), micronemes (m), granula-granula terdensasi, nukleus (n), dan roptries (r). Panjang garis = 0.8 µm.
  2. Jaringan Kista dari Toxoplasma gondii.
    1. Jaringan kista ini diambil dari otak tikus. Anak panah memperlihatkan dinding kista yang berisi ratusan bradyzoite. Tidak diwarnai. Panjang garis = 20 µm.
    2. 2 buah jaringan kista (anak panah) pada bagian otak. Hematoxylin dan pewarnaan eosin. Panjang garis = 20 µm.
    3. Transmisi mikroskop elektron dari sebuah jaringan kista kecil pada kultur sel. Lihat dinding kista yang tipis (anak panah) berisi 6 bradyzoite (kepala anak panah). Panjang garis = 1.0 µm.
  3. Bentuk seksual dari Toxoplasma gondii.
    1. Skizon (kepala anak panah ganda), gamon-gamon betina (anak panah), dan gamon-gamon jantan (kepala anak panah) pada bagian superfisial sel-sel epitel dari usus halus kucing. Pewarnaan hematoxylin dan eosin. Panjang garis = 15 µm.
    2. Tiga gamet jantan dengan masing-masing 2 flagela (kepala anak panah) dibandingkan dengan sebuah merozoit (anak panah). Gambar diambil dari sel epitel usus seekor kucing. Pewarnaan Giemsa. Garis = 10 µm.
    3. Ookista tidak berspora (kepala anak panah) pada feses seekor kucing. Terlihat 2 Ookista dari jenis parasit coccidium lain, yaitu Isospora felis (anak panah). Isospora felis berspora lebih cepat dibandingkan dengan T. gondii. Ookista yang paling atas dari gambar sudah berisi 2 sporokista, sedangkan pada seluruh ookista T. gondii masih belum berspora. Tidak diwarnai. Panjang garis 65 µm.
    4. Transmisi mikroskop elektron dari suatu ookista berspora. Terlihat dinding ookista yang tipis (anak panah), 2 sporokista (kepala anak panah), dan 4 sporozoite (kepala anak panah ganda) pada sporokista. Panjang garis = 2.25 µm. Ukuruan ookista kurang lebih 10 hingga 12 µm. Spora muncul di luar dari tubuh dan ookista menjadi infeksius dalam 1 hingga 5 hari setelah diekskresikan. Semula, ookista berbentuk sferikal, tetapi setelah terjadi spora maka mereka akan berubah menjadi agak oval1,4.
      Siklus kehidupan dari T. gondii pertama kali dideskripsikan pada 1970, ketika ditemukannya penjamu definitif, yaitu keluarga felidae, termasuk kucing-kucing peliharaan. Beberapa macam hewan berdarah hangat juga berperanan sebagai penjamu menengah. T. gondii diketahui ditularkan melalui beberapa cara seperti yang terlihat pada gambar 4. Di antaranya:
      1. Masuknya ookista dari kotoran (faeces) hewan yang menempel pada bulu kucing dan hinggap di makanan.
      2. Masuknya kista yang berasal dari daging hewan yang dimasak tidak sempurna/setengah matang.
      3. Masuknya tachyzoite/trofozoit dari ibu yang terinfeksi melalui plasenta lalu menuju janin.
Patogenesis
Banyak kasus toksoplasmosis pada manusia didapat dari masuknya jaringan kista pada daging yang terinfeksi atau ookista pada makanan yang tercemar kotoran kucing. Bradyzoite dari jaringan kista atau sporozoite yang terlepas dari ookista masuk ke sel-sel epitel di usus dan bermultiplikasi di usus. Toxoplasma gondii dapat menyebar, baik secara lokal ke nodus limfe mesentrik maupun ke organ-organ yang cukup jauh dengan menyerang kelenjar-kelenjar limfe dan darah. Nekrosis pada usus dan nodus limfe mesentrik dapat muncul sebelum organ-organ lain menjadi rusak parah. Gambaran klinis akan tampak setelah beberapa waktu dari rusaknya jaringan dari beberapa organ yang terinfeksi, khususnya yang vital dan penting seperti mata, jantung, dan kelenjar adrenal. Toxoplasma gondii tidak memproduksi toksin. Nekrosis pada jaringan biasanya disebabkan oleh multiplikasi intraselular dari tachyzoite.
Toksoplasmosis oportunistik pada pasien AIDS biasanya terjadi karena reaktivasi dari infeksi kronik. Lesi predominan dari toksoplasmosis - ensefalitis pada pasien-pasien ini adalah nekrosis yang terkadang menghasilkan abses multiganda. Beberapa di antaranya dapat berbentuk sebesar bola tenis.
Daya Tahan Tubuh
Infeksi T. gondii pada penjamu (host) dapat berakhir dengan kematian, tetapi lebih sering ditemukan kasus yang mengalami perbaikan dan mendapat kekebalan tubuh. Inflamasi biasanya menyertai nekrosis. Kurang lebih tiga minggu setelah infeksi, tachyzoite Toxoplasma gondii mulai menghilang dari jaringan viseral dan mulai terlokalisir menjadi jaringan kista di sistem saraf dan jaringan otot. Tachyzoite toksoplasma dapat bertahan lebih lama di sumsum tulang belakang dan otak karena respons imun pada umumnya kurang efektif pada organ tersebut. Infeksi kronis dapat teraktivasi berulang secara lokal (misalnya pada mata). Aktivasi berulang terjadi akibat ruptur dari jaringan kista. Kemungkinan ruptur jaringan kista dapat terjadi selama hidup penjamu. Bradyzoite yang terlepas secara normal akan dihancurkan oleh respons imun dari si penjamu. Reaksi ini dapat mengakibatkan nekrosis lokal yang disebabkan oleh proses inflamasi. Hipersensitivitas dikatakan juga mempunyai peranan yang penting pada reaksi tersebut. Tetapi, pada penjamu imunokompeten umumnya infeksi dapat reda sendiri, dengan tanpa terjadinya multiplikasi toksoplasma. Pada pasien imunosupresif, ruptur dari jaringan kista dapat terjadi pada saat terjadinya multiplikasi dari bradyzoite menjadi tachyzoite. Penjamu dapat meninggal oleh toksoplasmosis. Penyebab dari ruptur kista tersebut tidak diketahui. Bahaya laten T. gondii yang kronik secara eksperimen dapat diaktivasi oleh dosis eksesif dari kortikosteroid, serum anti-limfosit, dan berbagai terapi lain immunosupresan4.
Infeksi Toksoplasma Kongenital
Secara umum telah disetujui sejak dulu bahwa transmisi toksoplasmosis kongenital muncul hanya ketika infeksi Toxoplasma gondii didapat selama masa gestasi. Konklusi ini diambil berdasarkan data riset klinis dan epidemiologi1. Bukti yang mendukung konsep tersebut di antaranya observasi yang dilakukan oleh Feldman dan Miller (204 kasus)5. Sabin dkk. (216 ibu melalui 380 kehamilan)6 dan Desmonts (Studi prospektif terhadap 400 kasus)1. Desmonts mengumpulkan data dari observasi-observasi ini dan menganalisa kehamilan pada lebih dari 800 wanita yang melahirkan anak yang terinfeksi secara kongenital.
Ada suatu korelasi positif yang sangat bermakna antara isolasi toksoplasma dari jaringan plasenta dan infeksi pada neonatus. Sebagai suatu standar, isolasi positif menandakan adanya infeksi dan isolasi negatif menandakan tidak adanya infeksi pada neonatus. Korelasi ini merupakan hasil penelitian dari otopsi neonatus dengan toksoplasmosis kongenital dan mengindikasikan bahwa infeksi tersebut didapat oleh fetus melalui uterus via pembuluh darah. Hal ini membentuk konsep bahwa plasenta adalah suatu organ yang sangat penting dalam menghubungkan infeksi maternal dan fetus dimana organisme tersebut mencapai plasenta selama periode parasitemia pada ibu yang terinfeksi1.
Frekuensi dari infeksi toksoplasmosis kongenital diteliti oleh Desmonts dan Couvreur. Sebanyak 542 wanita yang terjangkit infeksi toksoplasma selama kehamilan diperlihatkan pada tabel 1. Anak-anak yang terlahir dari ibu yang terjangkit infeksi ini diklasifikasikan menjadi 5 kelompok:
  1. Tidak ada infeksi kongenital (jika tes pada bayi menunjukkan titer negatif).
  2. Infeksi kongenital subklinis (jika titer positif, tetapi asimtomatis).
  3. Infeksi toksoplasmosis kongenital ringan (jika bayi tampaknya normal dan berkembang secara normal juga pada penelitian selanjutnya tidak dijumpai adanya retardasi mental maupun kerusakan neurologik, akan tetapi pada pemeriksaan selanjutnya dijumpai adanya luka parut pada retina/pemeriksaan pada fundus). Atau, dalam satu kasus dijumpai adanya kalsifikasi intrakranial pada pemeriksaan X-ray.
  4. Infeksi toksoplasmosis kongenital berat, tetapi masih lahir (jika didapatkan korioretinitis dan kalsifikasi intrakranial pada bayi).
  5. Meninggal segera setelah dilahirkan.
Risiko infeksi toksoplasma terhadap fetus sangat berhubungan dengan waktu/kapan infeksi maternalnya muncul. Jika infeksi toksoplasma terjadi pada bulan-bulan terakhir dari kehamilan, umumnya parasit tersebut akan ditularkan ke fetus, tetapi infeksi yang terjadi umumnya subklinis pada saat kelahiran. Jika ibu hamil terjangkit lebih awal, sebagai contoh, pada bulan ketiga kehamilan, transmisi ke fetus umumnya lebih jarang. Di lain pihak, bila terjadi umumnya menghasilkan penyakit yang berat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di tabel 2.
Epidemiologi
Hingga saat ini, studi epidemiologi pada penderita AIDS yang terjangkit infeksi Toxoplasma gondii boleh dikatakan tidak ada. Hanya ada beberapa laporan kasus yang dipublikasi. Oleh sebab itu, studi epidemiologi yang ada umumnya mengenai toksoplasmosis kongenital. Studi yang berskala sangat besar yang dipublikasi pada 1998 adalah studi Jenum dkk. yang melihat insidensi infeksi Toxoplasma gondii pada 35.940 wanita hamil di Norwegia sejak 1992 hingga 1994. Dari 32.033 wanita hamil yang sebelumnya tidak terinfeksi, didapatkan 30 wanita (0,094%) terjangkit pada trimester pertama, 7 wanita (0,022%) terjangkit pada trimester kedua, dan 10 wanita (0,031%) terjangkit pada trimester ketiga. Sebanyak 3.907 wanita hamil (10,87%) dinyatakan seropositif terhadap infeksi toksoplasmosis pada pemeriksaan pertama2.
Data epidemiologi dari negara-negara lain sangatlah bervariasi antara satu dengan lainnya, seperti digambarkan pada tabel 3 dan grafik 1.
Sidiq, pada 1997, melakukan penelitian serologi toksoplasma pada ternak babi di rumah potong hewan Kotamadya Malang. Pada penelitian tersebut, didapati bahwa 23 dari 60 subjek yang diteliti (38,3%) positif terinfeksi toksoplasmosis11. Di Indonesia, parasit T. gondii tersebar luas dengan angka prevalensi zat anti T gondii pada manusia 2--63%, kucing 35--73%, anjing 75%, babi 11--36%, kambing 11--61%, dan sapi/kerbau kurang dari 10%12.
Prevalensi zat anti T. gondii pada wanita hamil di RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta adalah 14,313 dan pada 50 kasus abortus 67,8%14. Pada wanita dengan riwayat abortus atau lahir mati, prevalensi ini sebesar 21,5% dan 22,8%15. Pada orang dewasa dan anak-anak dengan retinokoroiditis, prevalensi antibodi 60%, sedangkan pada pasien dengan penyakit mata lain prevalensinya 17%16.
Penelitian Hartono terhadap kasus keguguran spontan yang dilakukan di RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan RS Hasan Sadikin Bandung menemukan 81 dari 101 (80,2%) sampel plasenta yang diinokulasi pada mencit menunjukkan hasil positif mengandung kista toksoplasma. Sedangkan hasil tes ELISA dari seluruh sampel sebanyak 178 memperlihatkan 52,25% positif. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa penyebab keguguran spontan terbesar adalah infeksi Toxoplasma gondii17.
Diagnosis dan Penatalaksanaan Infeksi Toksoplasmosis
Diagnosis dari infeksi akut toksoplasma dapat dilakukan melalui isolasi T. gondii dari darah atau cairan-cairan tubuh, menemukan kista pada plasenta atau jaringan fetus atau bayi yang baru lahir, mendeteksi antigen dan/atau organisme pada bagian atau preparat jaringan dan cairan-cairan tubuh, melihat dari antigenemia dan antigen di serum serta cairan-cairan tubuh, atau dengan tes serologi1.
Berikut adalah standar baku yang biasa dilakukan di Eropa: Skrining awal untuk diagnosis infeksi maternal umumnya dilakukan tes serologi menggunakan spesimen darah untuk melihat keberadaan IgG dan IgM spesifik terhadap toksoplasma. Jika IgM spesifik terhadap toksoplasma terdeteksi dan/atau pada kajian berikutnya dijumpai IgG spesifik terhadap toksoplasma (hasil positif titer ≥ 6 IU/ml), spesimen dianalisa dengan tes tambahan yang lebih spesifik. Direct agglutination assay for IgG (Toxo-Screen DA IgG [hasil dianggap positif bila titer ≥ 40]), Immunosorbent agglutination assay for IgM (Toxo-ISAGA IgM, hasil dianggap positif bila indeks ≥ 9), dan tes pewarnaan (hasil positif, ≥ 6 IU/ml)2.
Diagnosis segera dari infeksi fetus dapat ditegakkan bila infeksi T. gondii maternal sudah dipastikan. Penderita tersebut biasanya dijelaskan secara terperinci mengenai infeksi toksoplasmosis dan segala risiko yang dapat terjadi. Pemeriksaan USG untuk melihat fetus segera dilakukan, dan wanita tersebut akan dianjurkan untuk melakukan amniosentesis sesegera mungkin sebelum 12 minggu masa gestasi. Cairan amnion (10 hingga 20 ml) akan disentrifuge, dan pelet diendapkan ulang lalu diinokulasi secara intraperitoneal pada tikus untuk deteksi viabel. Cairan amnion (1,5 ml) juga diperiksa dengan PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk mendeteksi adanya DNA (gen B1) toksoplasma. Pengobatan dengan menggunakan antiparasit kepada wanita hamil dilakukan dengan menggunakan spiramycin (sebelum minggu ke-18 masa gestasi) dan/atau pyrimethamine, sulfonamide, dan asam folat (setelah minggu ke-18 masa gestasi) sesuai dengan panduan yang telah ditentukan, yang direkomendasi untuk seluruh wanita2.
Dalam menginterprestasikan hasil dari tes anti-toksoplasma IgM haruslah berhati-hati. Dianjurkan oleh FDA (Food and Drug Administration) di Amerika agar tidak bergantung terhadap hasil tes tunggal, karena dijumpai pada beberapa tes dapat terjadi hasil positif palsu (false-positive). Hal ini dapat menghasilkan diagnosis yang keliru dan menghasilkan pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan atau bahkan terminasi dari kehamilan. Tabel 4 adalah panduan dari FDA terhadap interprestasi dari tes serologi Toxoplasma gondii9.